Kebebasan berpendapat sudah jadi hal lumrah disini, ya setidaknya di lingkungan saya atau di televisi. Tapi ada satu cerita yang menarik perhatian saya, dituliskan kembali oleh @salimafillah di twitter. Saya belum izin mau dituliskan kembali disini nih, tapi saya yakin beliau berkenan lah ya. (pede jaya)
Pernah bersyair Asy Syafi'i; "Nasehati aku kala sunyi & sendiri; jangan di kala ramai & banyak saksi. Sebab nasehat di tengah khalayak terasa hinaan yang membuat hatiku pedih & koyak; maka maafkan jika aku berontak." Adalah Imam Ahmad; agung dalam mengamalkannya.
Inilah yang dikisahkan Harun ibn 'Abdillah Al Baghdadi; "Di satu larut malam", ujarnya, "Pintuku diketuk orang. Aku bertanya, 'Siapa?' Suara di luar lirih menjawab, 'Ahmad!' Kuselidik, 'Ahmad yang mana?' Nyaris berbisik kudengar, 'Ibn Hanbal!' SubhanaLlah, itu Guruku
Kubukakan pintu, & beliaupun masuk dengan langkah berjingkat; kusilakan duduk, maka beliau menempah hati-hati agar kursi tak berderit. Kutanya, 'Ada urusan sangat pentingkah sehingga engkau duhai Guru berkenan mengunjungiku di malam selarut ini?' Beliau tersenyum. 'Maafkan aku duhai Harun', ujar beliau lembut & pelan, 'Aku terkenang bahwa kau biasa masih terjaga meneliti hadits di waktu semacam ini. Kuberanikan untuk datang karena ada yang mengganjal di hatiku sejak siang tadi.' Aku terperangah, 'Hal itu tentangku?' Beliau mengangguk. 'Jangan ragu', ujarku, 'Sampaikanlah wahai Guru, aku mendengarmu!'
'Maaf ya Harun', ujar beliau, 'Tadi siang kulihat engkau sedang mengajar murid-muridmu. Kau bacakan hadits untuk mereka catat. Kala itu mereka tersengat terik mentari, sedangkan dirimu teduh ternaungi bayangan pepohonan. Lain kali jangan begitu duhai Harun; duduklah dalam keadaan yang sama, sebagaimana muridmu duduk.'
Pernah bersyair Asy Syafi'i; "Nasehati aku kala sunyi & sendiri; jangan di kala ramai & banyak saksi. Sebab nasehat di tengah khalayak terasa hinaan yang membuat hatiku pedih & koyak; maka maafkan jika aku berontak." Adalah Imam Ahmad; agung dalam mengamalkannya.
Inilah yang dikisahkan Harun ibn 'Abdillah Al Baghdadi; "Di satu larut malam", ujarnya, "Pintuku diketuk orang. Aku bertanya, 'Siapa?' Suara di luar lirih menjawab, 'Ahmad!' Kuselidik, 'Ahmad yang mana?' Nyaris berbisik kudengar, 'Ibn Hanbal!' SubhanaLlah, itu Guruku
Kubukakan pintu, & beliaupun masuk dengan langkah berjingkat; kusilakan duduk, maka beliau menempah hati-hati agar kursi tak berderit. Kutanya, 'Ada urusan sangat pentingkah sehingga engkau duhai Guru berkenan mengunjungiku di malam selarut ini?' Beliau tersenyum. 'Maafkan aku duhai Harun', ujar beliau lembut & pelan, 'Aku terkenang bahwa kau biasa masih terjaga meneliti hadits di waktu semacam ini. Kuberanikan untuk datang karena ada yang mengganjal di hatiku sejak siang tadi.' Aku terperangah, 'Hal itu tentangku?' Beliau mengangguk. 'Jangan ragu', ujarku, 'Sampaikanlah wahai Guru, aku mendengarmu!'
'Maaf ya Harun', ujar beliau, 'Tadi siang kulihat engkau sedang mengajar murid-muridmu. Kau bacakan hadits untuk mereka catat. Kala itu mereka tersengat terik mentari, sedangkan dirimu teduh ternaungi bayangan pepohonan. Lain kali jangan begitu duhai Harun; duduklah dalam keadaan yang sama, sebagaimana muridmu duduk.'
Aku tercekat, tak sanggup menjawab. Lalu beliau berbisik lagi, pamit undur diri. Kemudian melangkah berjingkat, menutup pintu hati-hati. MasyaaLlah; inilah Guruku yang mulia; Ahmad ibn Hanbal; akhlaq indahnya sangat terjaga dalam memberi nasehat & meluruskan khilafku. Beliau bisa saja menegurku di depan para murid; toh beliau Guruku yang berhak untuk itu. Tapi tak dilakukannya demi menjaga wibawaku. Beliau bisa saja datang sore, bakda Maghrib atau 'Isya' yang mudah baginya; itupun tak dilakukannya demi menjaga rahasia nasehatnya. Beliau sangat hafal kebiasaanku terjaga di larut malam; beliau datang mengendap & berjingkat; bicaranya lembut & nyaris berbisik semua beliau lakukan agar keluargaku tak tahu; agar aku yang adalah ayah & suami tetap terjaga sebagai Imam & teladan di hati mereka.
Maka termuliakanlah Guruku sang pemberi nasehat; yang adab tingginya dalam menasehati menjadikan hatiku menerima dengan ridha & cinta.
Uhuk! tertohokk!
Perasaan yang sama seperti saat saya mendengar nasihat untuk tidak mendahului orang tua yang sedang berjalan, bahkan di saat berangkat ke masjid. Atau ayat yang menyuruh kita untuk bersedekah dengan cara yang baik, dan menjaga perasaan si penerima. Hal kecil yang banyak dilupakan fiuhhh..
Nanti saya carikan ceritanya ya, saya cuma ingat hikmahnya. Maklum deh ilmunya dikiiiiiiitt :D
Semoga manfaat buat kita yang hidup di dunia serba bebas ini :)
Comments