Ketika mengikuti perkembangan pelaksanaan ujian akhir nasional, saya tercenung begitu mahalnya usaha yang dilakukan untuk sekadar mengamankan soal dari kebocoran dan kecurangan. Begitu mahalnya harga kejujuran di negara ini, tapi ironisnya pendidikan yang dibuat mahal itu hanya dipandang rendah oleh sebagian orang.
Kenapa murah? Karena pendidikan hanya dihitung dari goresan angka di lembar ijazah yang harganya tak sampai 10 ribu rupiah.
Kalau negara ini dibilang sudah defisit rasa percaya, peristiwa mencontek masal ini adalah buktinya. Membesarnya rasa tidak percaya ini bahkan sudah dimulai di tingkat paling fundamental, keluarga antara orang tua dan anaknya. Ironis. Orang tua tidak percaya bahwa anaknya mampu menyelesaikan ujian dengan kemampuannya. Kemampuan yang diajarkan guru setiap hari atau pemahaman murid dari akalnya sendiri. Lebih dalam lagi ada kekurangan rasa percaya diri dalam diri orang tua, guru, dan murid.
Saya pernah jadi siswa dasar sampai tingkat maha (mahasiswa). Saya dan rekan-rekan lain tau rasanya menghadapi persoalan dalam ujian, mempelajari hal-hal baru dan diuji pemahamannya. Tapi saya merasakan yang paling kami butuhkan bukanlah bundelan jawaban soal, tapi perasaan bahwa ada orang yang percaya bahwa saya bisa melalui tantangan ini, dengan kekuatan dan akal kami sendiri. Kepercayaan diri yang jadi bekal kami menghadapi kehidupan yang tidak memiliki bocoran ujian di masa depan.
Perlawanan terhadap tindakan ketidakjujuran tidak hanya dihadapi pendidikan tingkat dasar, tapi masih gencar dilakukan di kampus. Ini bukti begitu panjangnya rantai ketidakpercayaan diri ini. Seperti salah satu kampanye integritas di kampus saya.
Integrity : doing what is right even it is difficult
Kejujuran itu dasar, seperti halnya kita mengakui Tuhan itu ada, dekat dan mengetahui segala yang diperbuat kita sampai pengadilan akhir nanti. Integritas seperti sebuah paket, terdiri dari pemahaman nilai-nilai yang baik dan pelaksanaannya dalam kehidupan.
Apa arti ijazah sekolah? Coba buka lemari arsip, disanalah bertumpuk ijazah-ijazah sejak TK sampai sarjana. Mereka hanya teronggok buram di map-map berdebu. Kadang kita lupa, pendidikan untuk meningkatkan martabat manusia. Tapi kalau martabat diartikan sebagai ijazah, hiduplah di dalam lemari debu.
Dunia ini hanya kita pinjam dari generasi berikutnya. Siapa yang tidak sayang dengan anak, keponakan, cucu, cicit kita? Jahat jika dunia ini hanya ditinggalkan lemari-lemari debu saja untuk mereka, dimana nilai diri mereka hanya diukur dari tumpukan ijazah kusam. Perlu lebih banyak jiwa-jiwa yang hijrah dari keputusasaan, dan diperlukan lebih banyak lagi kaum anshar yang berani dan tulus menerima orang-orang yang hijrah memperjuangkan kebenaran.
Comments
http://www.bincangedukasi.com/indonesiajujur-suarakan-dukunganmu-akan-kejujuran.html
karena menulis adalah jejak peradaban, jadi gw ikutan. Reminder kalo kita pernah mengalami masalah ini. :)
berharap ini bukan gelombang sesaat. :-)
semoga *lagi ngomong sendiri*