Skip to main content

#indonesiajujur : Hidup saja di lemari debu

Ketika mengikuti perkembangan pelaksanaan ujian akhir nasional, saya tercenung begitu mahalnya usaha yang dilakukan untuk sekadar mengamankan soal dari kebocoran dan kecurangan. Begitu mahalnya harga kejujuran di negara ini, tapi ironisnya pendidikan yang dibuat mahal itu hanya dipandang rendah oleh sebagian orang.

Kenapa murah? Karena pendidikan hanya  dihitung dari goresan angka di lembar ijazah yang harganya tak sampai 10 ribu rupiah.

Kalau negara ini dibilang sudah defisit rasa percaya, peristiwa mencontek masal ini adalah buktinya.  Membesarnya rasa tidak percaya ini bahkan sudah dimulai di tingkat paling fundamental, keluarga antara orang tua dan anaknya. Ironis.  Orang tua tidak percaya bahwa anaknya mampu menyelesaikan ujian dengan kemampuannya. Kemampuan yang diajarkan guru setiap hari atau pemahaman murid dari akalnya sendiri. Lebih dalam lagi ada kekurangan rasa percaya diri dalam diri orang tua, guru, dan murid.
Saya pernah jadi siswa dasar sampai tingkat maha (mahasiswa). Saya dan rekan-rekan lain tau rasanya menghadapi persoalan dalam ujian, mempelajari hal-hal baru dan diuji pemahamannya. Tapi saya merasakan yang paling kami butuhkan bukanlah bundelan jawaban soal, tapi perasaan bahwa ada orang yang percaya bahwa saya bisa melalui tantangan ini, dengan kekuatan dan akal kami sendiri. Kepercayaan diri yang jadi bekal kami menghadapi kehidupan yang tidak memiliki bocoran ujian di masa depan.
Perlawanan terhadap tindakan ketidakjujuran tidak hanya dihadapi pendidikan tingkat dasar, tapi masih gencar dilakukan di kampus. Ini bukti begitu panjangnya rantai ketidakpercayaan diri ini. Seperti salah satu kampanye integritas di kampus saya.

Integrity : doing what is right even it is difficult

Kejujuran itu dasar, seperti halnya kita mengakui Tuhan itu ada, dekat dan mengetahui segala yang diperbuat kita sampai pengadilan akhir nanti. Integritas seperti sebuah paket, terdiri dari pemahaman nilai-nilai yang baik dan pelaksanaannya dalam kehidupan.

Apa arti ijazah sekolah? Coba buka lemari arsip, disanalah bertumpuk ijazah-ijazah sejak TK sampai sarjana. Mereka hanya teronggok buram di map-map berdebu. Kadang kita lupa, pendidikan untuk meningkatkan martabat manusia. Tapi kalau martabat diartikan sebagai ijazah, hiduplah di dalam lemari debu.
Dunia ini hanya kita pinjam dari generasi berikutnya. Siapa yang tidak sayang dengan anak, keponakan, cucu, cicit kita? Jahat jika dunia ini hanya ditinggalkan lemari-lemari debu saja untuk mereka, dimana nilai diri mereka hanya diukur dari tumpukan ijazah kusam. Perlu lebih banyak jiwa-jiwa yang hijrah dari keputusasaan, dan diperlukan lebih banyak lagi kaum anshar yang berani dan tulus menerima orang-orang yang hijrah memperjuangkan kebenaran. 

Comments

Anonymous said…
dan lalu apa kelanjutannya dari gerakan #indonesiajujur ini Tiek?
atiek said…
kalau dilihat dari tujuan awalnya mereka peningkatan awareness dan dukungan buat AL dan ibu Siami sekeluarga, Ben. udah baca ini kali ya..
http://www.bincangedukasi.com/indonesiajujur-suarakan-dukunganmu-akan-kejujuran.html

karena menulis adalah jejak peradaban, jadi gw ikutan. Reminder kalo kita pernah mengalami masalah ini. :)
Anonymous said…
ya, sempat beberapa kali membacanya.
berharap ini bukan gelombang sesaat. :-)
atiek said…
iya.. (:o

semoga *lagi ngomong sendiri*

Popular posts from this blog

Wisdom of nature

Life is not meant to be seen only from one side, it is resembled in our earth form, that is round and floating Life is meant to be on the move, no matter how slow it is To see that it has its continuum of time That the state of life is temporary As the earth rotates dilligently The darkness is certain, so as the light Difficulties will soon fade, just like happiness Life is meant to be a journey As our earth travels in tranquility It does not move in random, it surely has its own path Its orbit.. To travel cautiously, not to collide with other planets and space objects The earth knows exactly its mission to bring various seasons for human by dilligently rotates and orbitting to send warning about darkness that comes in our way to give hope at dawn to remind people aboutl illussions in our eyes The philosophy of nature is only can be seen when we pause escape to make space in our life and reflect in iteration The image become words the events become senten...

First Chapter: How we met and why we tied the knot?

It’s been a while since my last blogpost. I think my mind rest somewhere or i did not find something interesting enough to be written or maybe i let all those thoughts disappear with time.   Today is the last day in 2016 and I am on my way back to Jakarta from Yogyakarta with Nauval, who vowed to be my life partner a week ago. As a good friend of us had written our story , i feel flattered actually.. I think one story will not hurt anyone. :D So we met in April 2015, if I’m not mistaken, I don’t remember the date. But I do remember the place, and who were involved there. What had happened between May 2015 and December 2016 are only important for us hahaha.   Probably what is important to be shared is why and how I made the decision to marry a person next to me. HOW? I had met Nauval on March 2015 with Agung and Cinta. There was no follow up after the first meeting and I was very OK with that. Life was normal. Meanwhile, my Mom and her relations wer...

Idola Cilik, sudahkah adil?

Sore ini selepas pergi bersama teman untuk menonton pertandingan tenis, saya menemukan para penghuni kos sedang berkumpul di ruang tengah untuk menyaksikan idola cilik. Saya merasa kangen nonton acara ini, karena dulu saat belum masuk babak 14 besar,saya sering sekali menonton acara ini.  Sebuah ajang bagus untuk pengembangan minat dan bakat anak-anak, sekaligus memberikan inspirasi bagi ribuan pemirsa kecil lainnya yang terlalu bingung dijejali sinetron-monolog-yang-mengumbar-gambar-orang-melotot. Lucu dan menyenangkan sekali pada awalnya, hingga pada sore ini pandangan saya terusik pada sistem eliminasi idola cilik. Menit demi menit saya mencoba menikmati rangkaian babak hasil "result show", tapi yang berputar di kepala saya hanya "kenapa begini? kenapa begitu?" Berdasarkan informasi yang saya kumpulkan dari teman-teman kos yang mendukung Cakka dan Obiet, serta satu orang yang mendukung Irsyad. Saya coba buatkan rangkaiannya. Para kontestan cilik diberi kesempatan...