Skip to main content

keadilan di jalan

Yang terhormat pengguna kendaraan bermotor.
Saya baru mencicip jalanan berbukit ini selama 6 bulan menggunakan sepeda. Tidak terlalu lama seperti kalian mungkin. Kita semua tau begitu curamnya tanjakan menuju dago atas, dan butuh tenaga ekstra bagi saya yang mengandalkan kekuatan kaki.
Ya, saya menggunakan sepeda yang tidak menggunakan motor, tidak punya spion, tidak punya lampu sein, tapi saya gunakan lampu hazard dan senter depan kalau-kalau pengendara lain sulit mendeteksi keberadaan saya saat berkendara malam hari.
Saya gunakan helm sebagai peranti keselamatan saya sendiri sehingga tidak perlu menyalahkan siapapun jika hal buruk terjadi.
Saya menggunakan tangan untuk meminta jalan kepada pengendara lain, hal yang membuat saya paling takut adalah memotong jalan kalian para pengguna kendaraan bermotor.
Saya tidak secepat dan selincah kalian, memotong jalan bagi saya membutuhkan waktu lebih lama. Menggunakan satu tangan kadang mengurangi keseimbangan saya, sehingga seringkali saya yang amatir ini menunggu di pinggir jalan sampai kalian berlalu.
Dan hari ini saya melakukan hal seperti biasa, melaju di jalur kiri. Ketika tiba saatnya saya harus berpindah jalur dan memotong jalan kalian, maka saya merapatkan sepeda saya ke kiri, menengok ke belakang dan estimasi jarak antara saya, angkot, dan motor yang sering melaju sangat kencang, ini teknik yang saya gunakan selama 6 bulan. Saat saya memutuskan memotong jalan angkot, saya asumsikan kecepatan kalian secara normal. Saya mungkin lupa kalau motor dapat melakukan akselerasi maksimum, atau kalian tidak melihat ada sepeda ban kecil yang sedang mencoba memotong jalan kalian. Tidak seperti kalian yang menggunakan lampu sein, saya hanya menggunakan tangan saya yang hanya sebentar memberi aba-aba dan mencoba menyeimbangkan kendaraan saya kembali.
Kepada seluruh pengendara motor yang saya sulitkan jalannya tadi karena kelambanan saya, saya mohon maaf. Terutama pada pengendara usia belasan, tidak menggunakan helm pada kepalanya, namun memacu kendaraannya begitu kencang sambil membawa gadis di belakangnya. Mohon maaf anda harus menarik rem kuat-kuat dan aksi unjuk kebolehan anda menjadi terganggu.
Dari berbagai kejadian yang saya alami, permintaan saya hanya satu yaitu keadilan di jalan. Saya tidak perlu jalanan yang dicat biru namun dikejar-kejar kendaraan bermotor saat menggunakannya, atau begitu berbahayanya berpindah jalur.
Saya ambil risiko saya untuk disemprot knalpot kalian, apakah saya tidak boleh meminta hak saya untuk berpindah jalur, yang memang pada akhirnya memaksa anda sekalian mengurangi kecepatan atau menunggu beberapa detik?
Sepeda memang tidak membayar pajak tahunan atau membeli bensin seperti kalian, tapi itu tidak pernah membuat hak anda lebih.

Begitu terburu-burunya hidup sekarang, tak ada yang lebih penting dari urusan diri sendiri.

Comments

-ay- said…
sabar ya tieeek >:D< cepcepcep
atiek said…
>:D<
kalo gw kasih aksesoris nnt keberatan ya kayaknya.. bodo amat ah gowes gowes lagi.. hahaha

Popular posts from this blog

Idola Cilik, sudahkah adil?

Sore ini selepas pergi bersama teman untuk menonton pertandingan tenis, saya menemukan para penghuni kos sedang berkumpul di ruang tengah untuk menyaksikan idola cilik. Saya merasa kangen nonton acara ini, karena dulu saat belum masuk babak 14 besar,saya sering sekali menonton acara ini.  Sebuah ajang bagus untuk pengembangan minat dan bakat anak-anak, sekaligus memberikan inspirasi bagi ribuan pemirsa kecil lainnya yang terlalu bingung dijejali sinetron-monolog-yang-mengumbar-gambar-orang-melotot. Lucu dan menyenangkan sekali pada awalnya, hingga pada sore ini pandangan saya terusik pada sistem eliminasi idola cilik. Menit demi menit saya mencoba menikmati rangkaian babak hasil "result show", tapi yang berputar di kepala saya hanya "kenapa begini? kenapa begitu?" Berdasarkan informasi yang saya kumpulkan dari teman-teman kos yang mendukung Cakka dan Obiet, serta satu orang yang mendukung Irsyad. Saya coba buatkan rangkaiannya. Para kontestan cilik diberi kesempatan

Udar Rasa

Ada sebuah kolom di koran Kompas bernama Udar Rasa. Minggu ini teman saya, ika , mencuplik kalimat dari sana, dan saya penasaran. Minggu ini ditulis oleh Bre Redana. Berikut paragraf dari kolom tersebut yang saya suka: "Belajarlah pada alam. Sebagaimana sungai-sungai makin dangkal karena morat maritnya hutan-hutan dan gunung-gunung, hidup kita juga semakin dangkal. Seiring proses pendangkalan, masyarakat bertransformasi dari pengertian komunitas menjadi penggembira, pemandu sorak.  Begitu pun individu. Identitas individu sebagai entitas darah, daging, akal-budi, spirit, roh, bertransformasi menjadi identitas digital. Dalam identitas digital individu bisa menyaru sebagai lelaki, perempuan, kelompok, benda, pokoknya apa saja. Ini mengingatkan pada raksasa-raksasi dalam pewayangan, yang sanggup muncul dan menghilang, berubah-ubah bentuk menjadi apa saja. Gema suara mereka tak terukur.  Seperti sungai dangkal berbuih-buih, pemandu sorak dalam identitas digital ini memang

pernikahan saat malam dan pagi menjelang

Pernikahan 26-27 Januari di kedua hari tersebut saya belajar tentang arti pernikahan. saya melihat betapa kontrasnya kehidupan yang akan dijalani dalam pernikahan. hari pertama 26 Januari pernikahan teman saya, yang dihadiri hampir seluruh alumni 2004 siswa sma 8 jakarta. apa yang saya pelajari? kebahagiaan sebuah permulaan, yang mana diliputi pelangi kebahagiaan baik pasangan maupun keluarga dan kerabat. Pernikahan membutuhkan keberanian untuk memulainya. Berani untuk bertanggung jawab atas hidup orang lain, berani untuk mengambil keputusan yang tidak individualis, berani untuk berjalan dan dilihat oleh beratus atau ribuan pasang mata yang melihat tanpa ragu terhadap dandanan, gerakan, saya jamin pasti gugup!, berani untuk berdiri di panggung sambil tersenyum dan menyalami orang-orang yang mungkin kenal mungkin tidak, saya membayangkan betapa pegalnya, pegal, pegal. Untuk wanita, berani untuk menghadapi penata rias yang kadang-kadnag galak.. hehehe. Lalu apa yang saya temui di hari be