Skip to main content

Pikinik

Hari minggu kemarin, saat saya menunggu fotokopi bahan kerjaan. Aa saya mengajak ke Monas, senin malam. Sontak saya bilang "YUK!", diikuti dengan keikutsertaan, ibu, kakak ipar dan dua anaknya, serta ayah saya yang diajak belakangan. Dengan kadar impulsive meluap-luap, kami sekeluarga berangkat ke Monas jam 9 malam, lengkap dengan perbekalan. Piknik? 

Yap. piknik dengan pakaian gamis lengkap untuk para wanita dan peci putih buat pria-pria di keluarga kami. Untuk orang-orang yang paranoid dengan kumpulan pria berpeci putih dan bersarung naik motor, mungkin kegiatan itu akan sedikit mengancam ya. Orang yang berkumpul memang banyak sekali, datang bersama keluarga atau sendiri. Panitia semua menggunakan peci putih, sarung, dan jaket hitam identitas majelis. Wanita nya menggunakan gamis hitam dan beberapa ada yang bercadar. :p Well, kita punya pemahaman masing-masing soal iman kan?

Kehidupan sehari-hari saya dipenuhi opini yang berseberangan dengan orang-orang yang berkumpul disitu: jalanan riweuh, gak pake helm, nutup jalan, bendera-bendera berkibar dan sebagainya. Hal menariknya, saya ada di kerumunan itu. :) Saya tidak melihat opini itu berbalik, faktanya memang seperti itu dan panas juga kuping aa saya saat saya kritik terus menerus. Pesertanya memang datang dari berbagai latar belakang, banyak juga yang mantan "gak bener". Pada akhirnya, kita semua butuh keterikatan pada sesuatu, dan bagi mereka ini salah satunya. Tidak heran para pengurusnya butuh kerja ekstra untuk mengarahkan pesertanya agar patuh pada hukum yang ada.   Anyway, selalu menarik melihat suatu hal dari sudut yang berbeda. 

Saat kami mencari tempat untuk "piknik", seluruh peserta majelis sedang ber-shalawat dan mengangkat tangan. Setelah menggelar karpet di rumput kawasan Monas kami sekeluarga duduk, keponakan saya yang berumur 4 dan 1 tahun tidur di bawah langit (aiihh). Saat di perjalanan saya iseng bertanya pada keponakan saya si Kaysa (4thn)
Saya : "kakak kita mau ngapain sih?"
Kaysa : "mau lihat Habib Umar"
Saya : "oh gitu ya.... " *blushing*
Saya baru tahu saat itu, umumnya orang-orang yang berkumpul ingin bertemu aulia dari Yaman, Habib Umar, yang datang setahun sekali. Menurut aa saya, beliau panutan ulama seluruh dunia, hafal ratusan hadits dan sanadnya. Jika tidak berlebihan, seperti Imam Syafi'i jaman sekarang. Pesertanya pun ada yang khusus datang dari Kalimantan dan Malaysia. Beberapa peserta dari luar kota menginap di Istiqlal atau di rumah sesama peserta. 
Para habib berkumpul di panggung dan bergiliran memberikan tausiyah singkat dalam tiga bahasa: Arab, Inggris, dan Indonesia dan ditutup oleh tausiyah dari Habib Umar. Dua jam itu diisi tausiyah dan shalawat tentu dengan pengeras suara. Terlepas dari pro-kontranya, berkumpul di tanah lapang dengan tujuan seperti ini memang bukan perkara yang biasa saya lakukan. 

Rasanya pengen piknik seperti ini lagi sekeluarga, bukan di Monas, tapi di lapangan yang ada pohon bernama "Soekarno", dekat Jabal Rahmah, dan di bulan Dzulhijjah. Sepertinya terlihat tidak mungkin saat ini, tapi Allah SWT bukan memanggil yang mampu, tapi memampukan yang terpanggil. Suatu hari kita pasti bisa berseru "labaik allahuma labaik" 
Aku penuhi panggilanmu ya Allah
Amiiin.

(ditulis cuma untuk mengingatkan)

Comments

Popular posts from this blog

Idola Cilik, sudahkah adil?

Sore ini selepas pergi bersama teman untuk menonton pertandingan tenis, saya menemukan para penghuni kos sedang berkumpul di ruang tengah untuk menyaksikan idola cilik. Saya merasa kangen nonton acara ini, karena dulu saat belum masuk babak 14 besar,saya sering sekali menonton acara ini.  Sebuah ajang bagus untuk pengembangan minat dan bakat anak-anak, sekaligus memberikan inspirasi bagi ribuan pemirsa kecil lainnya yang terlalu bingung dijejali sinetron-monolog-yang-mengumbar-gambar-orang-melotot. Lucu dan menyenangkan sekali pada awalnya, hingga pada sore ini pandangan saya terusik pada sistem eliminasi idola cilik. Menit demi menit saya mencoba menikmati rangkaian babak hasil "result show", tapi yang berputar di kepala saya hanya "kenapa begini? kenapa begitu?" Berdasarkan informasi yang saya kumpulkan dari teman-teman kos yang mendukung Cakka dan Obiet, serta satu orang yang mendukung Irsyad. Saya coba buatkan rangkaiannya. Para kontestan cilik diberi kesempatan

Kembali ke Kelas Inspirasi

  Apa yang pertama terlintas ketika mendengar Indonesia Mengajar? Anak SD, pendidikan, masyarakat yang mengajar. Begitu pula yang saya pikirkan ketika itu, berbagai orang bersedia mengajar untuk meningkatkan kondisi pendidikan di Indonesia.   Desember 2011 itu, kami sepakat untuk merangkul para ‘kelas menengah’ di kota besar untuk ikut andil dalam pembangunan pendidikan. Salut untuk ide Safira Ganis, Ika, dan teman-teman pengajar muda yang baru kembali dari tempat penugasan. Keceriaan itu disebut, Professional Volunteer Program (PVP). Untuk menyederhanakan narasi “membangun gerakan pendidikan masyarakat”, kita mengusung ide kegiatan relawan untuk menjadi gaya hidup “Loe gak keren kalau belum jadi relawan.”   Hasil pertemuan itu melahirkan  Kelas Inspirasi  sebagai wahana/alat/kendaraannya. Idenya sederhana, para kelas menengah pekerja ditantang untuk cuti sehari, berorganisasi dalam kelompok, mempersiapkan materi pengajaran sendiri, lalu mengajar tentang profesi

Udar Rasa

Ada sebuah kolom di koran Kompas bernama Udar Rasa. Minggu ini teman saya, ika , mencuplik kalimat dari sana, dan saya penasaran. Minggu ini ditulis oleh Bre Redana. Berikut paragraf dari kolom tersebut yang saya suka: "Belajarlah pada alam. Sebagaimana sungai-sungai makin dangkal karena morat maritnya hutan-hutan dan gunung-gunung, hidup kita juga semakin dangkal. Seiring proses pendangkalan, masyarakat bertransformasi dari pengertian komunitas menjadi penggembira, pemandu sorak.  Begitu pun individu. Identitas individu sebagai entitas darah, daging, akal-budi, spirit, roh, bertransformasi menjadi identitas digital. Dalam identitas digital individu bisa menyaru sebagai lelaki, perempuan, kelompok, benda, pokoknya apa saja. Ini mengingatkan pada raksasa-raksasi dalam pewayangan, yang sanggup muncul dan menghilang, berubah-ubah bentuk menjadi apa saja. Gema suara mereka tak terukur.  Seperti sungai dangkal berbuih-buih, pemandu sorak dalam identitas digital ini memang