Skip to main content

Remeh-temeh

Beberapa hari ini, saya punya kesibukan baru, menata ulang laporan standar ke format baru. Menarik juga menantang dan membuat saya 'asik sendiri' membetulkan ini-itu, mengganti ini-itu, bahasa kerennya continous improvement. Salah satu kebiasaan saya muncul di pekerjaan ini yaitu Setiap kali saya melihat hasilnya, ada saja yang ingin saya ubah. Tulisan di -bold, di-italic, di ini di itu. Kalau perubahan itu hanya berdampak pada diri sendiri sih tak apa, masalahnya ini berakibat pada 5 teman lainnya yang membuat laporan yang sama. Sebelum format itu dipakai, sudah dibuat prototype untuk dilihat-diputar-dikritik-diubah, dan berulang lagi siklusnya. Meskipun begitu, saat format itu sudah dipakai secara resmi pun masih saja dilihat-diputar-dikritik-diubah, tak sadar bahwa tenggat waktu pengumpulan semakin dekat.

Setiap ada perubahan, spidol mulai menggaruk-garuk whiteboard dan menuliskan perubahan-perubahan tersebut. Mau tak mau, 5 temanku yang sabar akan merubah apa yang sudah mereka buat untuk mengikuti perubahan yang saya tulis. Oke, tidak berhenti sampai disitu, pada bagian-bagian yang kami tidak tahu harus bagaimana, saya akan diam cukup lama berpikir ini-itu (tugas kali ini menurut saya agak melibatkan emosi, jadi saya merasa perlu berhati-hati) dan sampai pada keputusan yang mungkin dalam beberapa menit akan berubah lagi.

Dan sore ini saya merasa bersalah sekali, sore ini tinggal pemeriksaan seharusnya, tapi karena kecerobohan saya yang tidak menjelaskan dengan benar, terjadi banyak distorsi, dan muncul hal-hal yang ternyata belum pas. Bagi saya perubahan-perubahan macam itu biasa saja, karena toh memang saya suka gatal kalau melihat hal yang tidak pada tempatnya, tapi saya berpikir lain sekarang,

"Andai saja saya mampu membuat suatu hal yang sudah bagus dari awal, atau setidaknya teliti sebelum memberikan 'standard' yang akan dipakai oleh banyak orang, pasti akan lebih efisien ya pekerjaan ini."

Saya sendiri memang sedang belajar, meskipun perubahan adalah satu-satunya hal yang abadi, tapi frekuensi perubahan yang diperkecil mungkin bisa lebih meringankan pekerjaan banyak orang ya.. fufufu

Segala perasaan bersalah tentang hal ini selalu di-anti tesis-kan oleh si otak kiri
"Instead of waiting for perfection, run with what you've got and fix it as you go.."

Perasaan bersalah ini memang membuat saya tidak nyaman, namun saya tak sabar menemui zona tidak nyaman lainnya. Rasanya seperti datang ke kelas baru. Semangat!

Comments

Mona said…
ya... ya...

dimaafkan tiek.. dimaafkan.. (loh.. emang si atiek minta maaf.. hehe)

gw pribadi sih sangat mengerti.. soalnya gw jg org yg sangat gatel ama hal remeh temeh itu tadi..

gakpapalah tiek.. sama2 lg belajar.. gw ikhlas kok jadi objek perubahan2 remeh temeh lo (baca: pliss tiek.. udah dong ngerubah2 template-nya... huakhahaha)

sip ah..

eh, jadi gak ngasuh ling2 ke ciwalk nonton film kartunnya?
-ay- said…
hooo..
baru baca :p
tenang tiek, jgn mrasa jd public enemy. toh itu kan kerjaan kita juga sebagai satu tim. ;) dan mungkin jg di kesempatan yg lain, gw yg bakal kyk gitu. hahahaha..

tp ga ah. gw mah yg manut2 aja. wkwkwkwk
itu tandanya lo semangat kerja tiek :) hehe
atiek said…
@mona : gak jadi, dasar ling2,, makin tipis kesempatan ntn alien vs monster, alamat gagal deh.. hu uh

@ayu : hahaha,, seringnya gw bosen manut yu, berarti tim kita cukup heterogen.. gyagya

@batari : yes i am! hahaha semangaat

Popular posts from this blog

Idola Cilik, sudahkah adil?

Sore ini selepas pergi bersama teman untuk menonton pertandingan tenis, saya menemukan para penghuni kos sedang berkumpul di ruang tengah untuk menyaksikan idola cilik. Saya merasa kangen nonton acara ini, karena dulu saat belum masuk babak 14 besar,saya sering sekali menonton acara ini.  Sebuah ajang bagus untuk pengembangan minat dan bakat anak-anak, sekaligus memberikan inspirasi bagi ribuan pemirsa kecil lainnya yang terlalu bingung dijejali sinetron-monolog-yang-mengumbar-gambar-orang-melotot. Lucu dan menyenangkan sekali pada awalnya, hingga pada sore ini pandangan saya terusik pada sistem eliminasi idola cilik. Menit demi menit saya mencoba menikmati rangkaian babak hasil "result show", tapi yang berputar di kepala saya hanya "kenapa begini? kenapa begitu?" Berdasarkan informasi yang saya kumpulkan dari teman-teman kos yang mendukung Cakka dan Obiet, serta satu orang yang mendukung Irsyad. Saya coba buatkan rangkaiannya. Para kontestan cilik diberi kesempatan

Kembali ke Kelas Inspirasi

  Apa yang pertama terlintas ketika mendengar Indonesia Mengajar? Anak SD, pendidikan, masyarakat yang mengajar. Begitu pula yang saya pikirkan ketika itu, berbagai orang bersedia mengajar untuk meningkatkan kondisi pendidikan di Indonesia.   Desember 2011 itu, kami sepakat untuk merangkul para ‘kelas menengah’ di kota besar untuk ikut andil dalam pembangunan pendidikan. Salut untuk ide Safira Ganis, Ika, dan teman-teman pengajar muda yang baru kembali dari tempat penugasan. Keceriaan itu disebut, Professional Volunteer Program (PVP). Untuk menyederhanakan narasi “membangun gerakan pendidikan masyarakat”, kita mengusung ide kegiatan relawan untuk menjadi gaya hidup “Loe gak keren kalau belum jadi relawan.”   Hasil pertemuan itu melahirkan  Kelas Inspirasi  sebagai wahana/alat/kendaraannya. Idenya sederhana, para kelas menengah pekerja ditantang untuk cuti sehari, berorganisasi dalam kelompok, mempersiapkan materi pengajaran sendiri, lalu mengajar tentang profesi

untuk mahasiswa ITB dari Rendra

saya rasa kita semua yang mengaku orang muda, berpendidikan, punya berjuta teori yang mau dibenturkan dengan dunia nyata, punya berbagai idealisme yang belum diwujudkan, yang masih diam sampai sekarang (seperti saya), yang mau berubah, yang mau bergerak untuk siapapun, bangsa, umat, atau diri sendiri.. harus baca puisi dari sastrawan Rendra ini, tanda bahwa 30 tahun mahasiswa masih menghadapi masalah dan dilema yang sama. . sampai kapan mau diam dibalik menara gading ini?? menghisap sebatang lisong melihat Indonesia Raya mendengar 130 juta rakyat dan di langit dua tiga cukung mengangkang berak di atas kepala mereka matahari terbit fajar tiba dan aku melihat delapan juta kanak - kanak tanpa pendidikan aku bertanya tetapi pertanyaan - pertanyaanku membentur meja kekuasaan yang macet dan papantulis - papantulis para pendidik yang terlepas dari persoalan kehidupan delapan juta kanak - kanak menghadapi satu jalan panjang tanpa pilihan tanpa pepohonan tanpa dangau persinggahan tanpa ada baya