Skip to main content

kepala sekolahku pemulung

Kepala sekolahku, pemulung..

sekali waktu sempatkan diri menonton Eagle Awards The Finalist
Malam ini, bercerita tentang seorang kepala sekolah sebuah madrasah tsanawiyah di jakarta.
yah, beliau seorang sarjana pendidikan di pagi hari
namun berubah menjadi pemulung sampah sepulangnya ia sebagai sarjana

menarik, karena wilayahnya di jakarta, yang menjadi barometer ekonomi Indonesia
Film pendek yang menggambarkan betapa ia menikmati pekerjaan sambilannya itu.
Hal ini tergambar dari pemaparannya mengenai penghasilan sebagai guru dengan pemulung.

"kalau memulung bisa dapet 200-250 ribu seminggu, tapi kalo guru 150 ribu sebulan"

he? kalau begini keadaannya jelas saja ia memilih menjadi pemulung, meskipun dedikasinya sebagai guru tidak memupuskan semangatnya untuk tetap mengajar.
Pernah suatu kali ia menolak untuk mengajar privat, karena kerja sambilan para guru biasanya memang itu lazimnya.
Menurutnya, ia tidak bisa konsentrasi mengajar sepulangnya dari sekolah. Beliau tidak mau setengah-setengah mengajar, "jangan harapkan murid mengerti kalau kita tidak konsentrasi"
hmm. menarik, menjadi pemulung tidak ada tanggung jawab moral kepada muridnya, mau suntuk, bosen, lelah, hanya ia dan sampahnya yang tahu.
Cukuplah ia mencurahkan segala kemampuannya di madrasahnya.

Adegan yang menggelitik saya adalah saat ia menemukan keripik yang masih tertutup rapi di plastik.
begitu senangnya ia mengacung-acungkan bungkusan kumal dari gunungan sampah itu, "heii..ada keripik!buat ngopii!"
ah, seruput es teh manis dan keripik "sampah" di sela kesibukan, ditemani keriuhan lalat-lalat,
dan ia berkata "alhamdulillah, hilang sudah semua capeknya.."

begitu sederhananya, sejumput kebahagiaan yang mungkin tidak dimiliki oleh semua orang.
beginilah nasib GURU di Jakarta, Indonesia.

Comments

Amalia said…
dan selama ini kita selalu melihat ke atas untuk mengukur "kebahagiaan" :(
atiek said…
iya, padahal lalatnya ngerubung abis gitu.. ngung..ngung..
parah deh..

Popular posts from this blog

Idola Cilik, sudahkah adil?

Sore ini selepas pergi bersama teman untuk menonton pertandingan tenis, saya menemukan para penghuni kos sedang berkumpul di ruang tengah untuk menyaksikan idola cilik. Saya merasa kangen nonton acara ini, karena dulu saat belum masuk babak 14 besar,saya sering sekali menonton acara ini.  Sebuah ajang bagus untuk pengembangan minat dan bakat anak-anak, sekaligus memberikan inspirasi bagi ribuan pemirsa kecil lainnya yang terlalu bingung dijejali sinetron-monolog-yang-mengumbar-gambar-orang-melotot. Lucu dan menyenangkan sekali pada awalnya, hingga pada sore ini pandangan saya terusik pada sistem eliminasi idola cilik. Menit demi menit saya mencoba menikmati rangkaian babak hasil "result show", tapi yang berputar di kepala saya hanya "kenapa begini? kenapa begitu?" Berdasarkan informasi yang saya kumpulkan dari teman-teman kos yang mendukung Cakka dan Obiet, serta satu orang yang mendukung Irsyad. Saya coba buatkan rangkaiannya. Para kontestan cilik diberi kesempatan

Kembali ke Kelas Inspirasi

  Apa yang pertama terlintas ketika mendengar Indonesia Mengajar? Anak SD, pendidikan, masyarakat yang mengajar. Begitu pula yang saya pikirkan ketika itu, berbagai orang bersedia mengajar untuk meningkatkan kondisi pendidikan di Indonesia.   Desember 2011 itu, kami sepakat untuk merangkul para ‘kelas menengah’ di kota besar untuk ikut andil dalam pembangunan pendidikan. Salut untuk ide Safira Ganis, Ika, dan teman-teman pengajar muda yang baru kembali dari tempat penugasan. Keceriaan itu disebut, Professional Volunteer Program (PVP). Untuk menyederhanakan narasi “membangun gerakan pendidikan masyarakat”, kita mengusung ide kegiatan relawan untuk menjadi gaya hidup “Loe gak keren kalau belum jadi relawan.”   Hasil pertemuan itu melahirkan  Kelas Inspirasi  sebagai wahana/alat/kendaraannya. Idenya sederhana, para kelas menengah pekerja ditantang untuk cuti sehari, berorganisasi dalam kelompok, mempersiapkan materi pengajaran sendiri, lalu mengajar tentang profesi

untuk mahasiswa ITB dari Rendra

saya rasa kita semua yang mengaku orang muda, berpendidikan, punya berjuta teori yang mau dibenturkan dengan dunia nyata, punya berbagai idealisme yang belum diwujudkan, yang masih diam sampai sekarang (seperti saya), yang mau berubah, yang mau bergerak untuk siapapun, bangsa, umat, atau diri sendiri.. harus baca puisi dari sastrawan Rendra ini, tanda bahwa 30 tahun mahasiswa masih menghadapi masalah dan dilema yang sama. . sampai kapan mau diam dibalik menara gading ini?? menghisap sebatang lisong melihat Indonesia Raya mendengar 130 juta rakyat dan di langit dua tiga cukung mengangkang berak di atas kepala mereka matahari terbit fajar tiba dan aku melihat delapan juta kanak - kanak tanpa pendidikan aku bertanya tetapi pertanyaan - pertanyaanku membentur meja kekuasaan yang macet dan papantulis - papantulis para pendidik yang terlepas dari persoalan kehidupan delapan juta kanak - kanak menghadapi satu jalan panjang tanpa pilihan tanpa pepohonan tanpa dangau persinggahan tanpa ada baya