Entah apa yang sudah saya lakukan di Ramadhan tahun ini. Hari-hari siang seperti larut dengan pekerjaan yang tidak ada habisnya, sejak pagi hingga malam. Tilawah terseok-seok seperti mati segan hidup tak mau. Berkali-kali guru mengingatkan, tapi waktu tidak banyak disempatkan. Mencoba menebus dengan hadir di barisan jamaah dengan lantunan ayat yang tartil. Tapi karena jaraknya yang jauh dari rumah, badan lelah langsung rebah saat tiba di rumah. Shalat malam sebelum sahur pun hanya sempat segelintir rakaat, itu pun tergesa karena ibu memanggil agar bergegas untuk makan sahur. Lepas shubuh harus segera siap mengejar kereta, atau berlomba agar mobil tidak terjebak di keramaian jalanan ibukota. Kereta yang sesak tidak memungkinkan penumpangnya membaca di dalam kereta. Begitu terus separuh bulan ini. Ibadah memang banyak bentuknya, tapi tugasku tidak semulia ibu yang menyiapkan makanan buka atau sahur atau merawat keluarga. Mestinya sempat, mestinya disempatkan. ...
seperti jeda antar kata untuk memberi makna